top of page
  • Facebook
  • Instagram
  • YouTube

Free Thinker dan Pendidikan Karakter


ilustrasi pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah (sumber : unsplash.com)

Dewasa ini, bangsa Indonesia telah mengalami degradasi dan dekadensi moral, khususnya dalam bidang pendidikan, dimana kecendrungan orang terpelajar dalam berprilaku sehari-hari sering kali tidak sesuai dengan apa yang diajarkan di sekolah. Data persentase penduduk korban kejahatan mengalami penurunan dari 1,22% pada tahun 2016 menjadi 1,08 % pada tahun 2017, dan meningkat menjadi 1,11 persen pada 2019. (Sumber: BPS, Data Statistik Kejahatan, 2019).


Tak terkecuali sederetan kasus yang menimpa anak sering muncul di lingkungan sekolah juga didominasi oleh perundungan. Retno Listyarti, Komisioner KPAI bidang Pendidikan, menyebutkan beberapa rincian kasus yang terjadi pada awal tahun 2019 di sekolah, diantaranya; 3 kasus kekerasan fisik, 8 kekerasan psikis, 3 kekerasan seksual, 1 tawuran pelajar, korban kebijakan 5 kasus, dan 1 kasus eksploitasi[1]

Lingkungan sekolah merupakan sebuah labolatorium tempat produksi generasi emas yang mampu menjawab tantangan masa depannya, di dalam nya terdapat beberapa elemen yang menunjang berhasil atau tidak nya sekolah tersebut. Seperti tenaga pengajar, fasilitas, maupun tata kelola administrasi yang termuat ke dalam aturan sekolah.


Seperti hal nya yang dilakukan Ruang Kita Mengabdi yang memiliki visi besar membangun Sekolah Impian di daerah pedesaan[2]. Keterbatasan fasilitas maupun finansial bukanlah halangan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, anak muda seharusnya menjadi garda terdepan dalam membangun peradaban.

Bangsa Indonesia menganut Ideologi Pancasila, namun sering kali nilai-nilainya dilupakan begitu saja. Presiden Indonesia, Joko Widodo pun dalam masa kepemimpinannya lima tahun ke depan, telah memberikan tawaran kepada warga negaranya yang termuat ke dalam salah satu nawa cita, yakni pendidikan karakter. Atau yang sering kita dengar ialah revolusi mental.


Amanat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa pendidikan adalah hak segala bangsa, namun hak selalu beriringan dengan kewajiban. Maka, kita semua memiliki tanggung jawab dan peran masing-masing untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas, tidak lantas kemudian semuanya menggantungkan nasib kita pada pemerintah yang mengelola negara kita. Karena pada dasarnya, pancasila telah merawat pendidikan di negara kita dalam bingkai keberagaman. Dan nilai-nilai nya senantiasa harus kita aplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.

Paulo Freire, seorang filsuf, tokoh pendidikan asal Brasil mengatakan dalam salah satu buku nya yang berjudul ‘Pendidikan Kaum Tertindas’, bahwa tidak ada satu negara pun yang mampu mencetak seorang anak atau siswa yang berpendidikan, jika hakikat kemanusiaanya dihilangkan, secara tidak sengaja sistem belajar mengajar di negara kita pun nyatanya masih jauh dari kata sempurna, seperti apa yang telah dikatakan Paulo Freire tadi.


Kemudian, jika menelisik lebih jauh tentang harapan dan tantangan pendidikan kita saat ini, Indonesia akan semakin jauh tertinggal dengan memakai sisrem belajar dari rumah (daring). Apalagi berbicara tentang pendidikan di masa pandemic Covid-19. Bagi sebagian siswa, psikologisnya akan sangat terganggu dengan program belajar daring maupun luring. Mengapa demikian? Karena kondisi anak dalam kebiasaannya proses penanaman nilai maupun pengetahuan ini dilakukan dengan banyak orang dan suasana permainan. Tidak bisa kemudian dipaksakan oleh oleh guru sekolah ataupun orang tua siswa agar bisa paham tentang materi pembelajaran, perlu suasana baru untuk merefleksikannya.


Pendidikan karakter harus mulai ditanamkankan dengan berbagai cara, tidak harus melalui sekolah juga, yang terpenting adalah dimanapun anak, pada kondisi apapun anak tersebut tugas pengajar hanyalah menjadi mediator sekaligus orang ke-dua bagi kehidupan dia, tanamkan kepada siswa atau pada seorang anak di lingkungan keluarga bahwa free thinker (kebebasan berpikir) adalah pondasi utama menjadi seorang pelajar berkualitas.


melukis bisa menjadi salah satu sumber keterampilan anak (sumber : unsplash.com)

Bentuknya bisa beragam macam, bisa menumbuhkan skil atau keterampilan seperti menulis, melukis, bernyanyi, men-design dan lain sebagainya. Karena dengan berpikir bebas, seorang siswa mampu mengekspresikan kebaikan apa yang ada di dalam dirinya sendiri termasuk dalam menggali ilmu pengetahuan baru.


Tindak kriminalitas yang terjadi di berbagai daerah maupun negara seringkali diakibatkan oleh sistem pendidikan yang kurang tepat, oleh karena itu, ideologi pun akan sangat mempengaruhi corak berpikir dan berprilaku setiap manusianya. Hal ini berlaku ke dalam berbagai sektor kehidupan sehari-hari, seperti pendidikan, ekonomi, kesehatan maupun hiburan sekalipun. Setiap manuisa seringkali gagap dalam menangkap realitas, dimana setiap anak akan cendrung melakukan apa saja yang terlihat asyik dan terasa menyenangkan, padahal belum tentu dampak yang ditimbulkannya baik untuk dirinya sendiri. Ini yang kemudian disebut Hyper Realitas oleh Jean Baudrillard, seorang tokoh postmodern.

Dengan kemunculan karakter baru, free thinker tadi, diharapkan mampu menjadi tameng atas apa yang menjadi ketimpangan dalam hidup, sehingga seorang siswa bisa berpikir kritis terhadap hal-hal baru, dan bertindak transformative kepada orang disekitarnya.


Akhirnya, bukan kondisi lahiriah yang menyebabkan anak seringkali berprilaku jauh dari kata baik, tetapi kebodohanlah yang terlalu dekat sehingga besar kemungkinan mengakibatkan anak jatuh pada jurang kenakalan. Karakter pendidikan memanusiakan manusia yang harus dimunculkan. Karena kita punya identitas dan nilai-nilai yang harus dijungjung tinggi untuk menciptakan peradaban yang sejati. *AM

Comentarios


JANGAN KETINGGALAN INFO DAN CERITA TERBARU KAMI - SUBSCRIBE!

Thanks for submitting!

Contact us on 

I

© 2020 by Ruang Kita Mengabdi. Proudly created with Wix.com

bottom of page